Sabtu, 11 Desember 2010

KESETARAAN GENDER : MENCARI KESEIMBANGAN DALAM KEYAKINAN

Kemunculan Peraturan Daerah (perda) pada beberapa wilayah di tanah air dan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP) menjadi perhatian masyarakat akibat pertentangan antara isi dan yang membuahkan pro kontra. Ketika pihak yang pro menyatakan UU ini sebagai perlindungan terhadap perempuan, sementara si kontra menyatakan UU APP dan sejenisnya justru menempatkan perempuan sebagai “terdakwa”. Bila dianalogikan, perempuan seakan-akan adalah barang di etalase berjalan, dengan “mereka” (laki-laki) sebagai pembeli yang berkuasa untuk memiliki barang itu. Barang yang membuat mereka menjadi bernafsu untuk memiliki, sehingga untuk menghindari tatapan ngiler mereka, barang ini harus ditutupi demi menjaga nafsu mereka. Kemudian siapa yang akan mempertanyakan “mereka”? Apakah tidak seharusnya bukan saja kepala tapi otak juga dipasangkan topi agar nafsu itu tidak muncul? Mana yang lebih masuk akal? Aku bukan penggemar bikini, tank top, maupun rokmini, tetapi sepertinya aku harus memasukkan diriku kedalam karung goni dan berjalan dengan melompat-lompat, itung-itung berlatih sebagai bakal pocong agar orang-orang itu berhenti menggangguku karena aku objek yang mereka sebut perempuan.   
Masih menjadi perdebatan yang menarik karena kontroversi yang tidak pernah usai, yaitu mengenai poligami. Pihak-pihak yang saling berseberangan memberikan argumen masing-masing demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Tuduhan macam-macam terhadap kesetaraan gender kerap dilayangkan sebagai pihak yang menolak poligami. Bukan saja dianggap sebagai paham kaum barat yang menyebarkan hasutan kesetaraan, namun kami juga dianggap sebagai kaum murtad yang mengingkari agama. Bahkan sempat pula pada suatu mimbar dengan tema menanggapi fenomena poligami, seorang perempuan berkata bahwa lebih baik seorang perempuan menjadi istri kedua daripada menjadi lajang seumur hidupnya. Sedangkan lainnya berpendapat daripada berselingkuh lebih baik diikat saja sekalian dengan hubungan yang sah melalui poligami, sehingga halal di mata Tuhan. Ironis, poligami sebagai pembenaran dan pengesahan atas perselingkuhan dan predikat sebagai lajang dianggap sebagai aib perempuan. Bagaimana dengan keberadaan aturan tentang poligami itu? Memang ada, tetapi bagaimana tentang keberadaan penafsiran aturan itu? Zaman yang telah berubah, maka aturan itu ikut berubah, alasan kemanusiaan bukan menjadi justifikasi akan tindakan ber-poli-poli itu. Saat seseorang memilih untuk melakukan poligami, maka esensi cinta dan ikatan pernikahan itu perlu dipertanyakan kembali. Tidak benar anggapan tentang kesetaraan adalah bila jika laki-laki mampu berpoligami, maka perempuan juga harus bisa poliandri., karena esensi hubungan itu adalah kesetiaan dan kesetiaan tidak bisa dibagi seperti matematika, dan akan lebih indah bila dicapai dengan jembatan monogami.
Siang itu anak-anak belasan tahun memperoleh bahan pembicaraan baru, terilhami oleh pelajaran agama yang membahas tentang datang bulan A.K.A haid A.K.A menstruasi. Bukan hal baru  tapi masih terasa aneh untuk membicarakan urusan yang begitu pribadi. Sampailah pada perdebatan tentang helaian rambut yang jatuh saat sedang menstruasi. Katanya helaian rambut yang jatuh saat menyisir maupun memotong rambut kalau lagi “kedatangan tamu” itu dosa dan tiap-tiap helai rambut akan berubah menjadi api yang siap membakar pemiliknya.
Belakangan akhirnya aku tahu bahwa pendapat semacam itu berasal dari mazhab yang tidak jelas, tidak berdasar walaupun tetap saja masih menimbulkan pro kontra di kalangan para ulama maupun orang-orang yang lebih agamais disekitarku karena penafsiran setiap otak yang berbeda dengan mengandalkan nalar dan logika.  Dan aku diantara mereka itu hanya bertanya dalam hati, apakah sebenarnya salah helai-helai rambutku.
Jika setiap helai rambut yang terjatuh itu menjadi api yang bisa membakarku kelak, jangankan hanya sehelai rambut yang jatuh, tercipta sebagai seorang perempuan pun itu sudah merupakan dosa.
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar